KISAH NYATA. Namaku Melati, anak ke-4 dari 6 bersaudara . Aku terlahir dari keluarga yang berantakan di
salah satu wilayah di Jakarta Utara, orang tuaku bercerai disaat usiaku 15
tahun. Ayahku menikah lagi dengan wanita selingkuhannya, dan sekarang jadi ibu
tiriku. Aku tidak suka dengan ibu tiriku. Sebetulnya ibu tiriku itu tidak galak
justru dia sayang sama aku, tapi aku tidak suka saja sama dia. Sebab karena dia
lah keluarga orang tuaku jadi berantakan.
Aku besar dan diasuh oleh ibuku. Tapi kasih sayang ibuku itu
aku rasakan tidaklah lama. Hanya berselang 3 tahun dari perceraian dengan
Ayahku, ibuku jatuh sakit dan meninggal dunia. Adikku diasuh oleh kakakku yang
paling tua, sedang aku karena sudah dianggap dewasa mulai hidup sendiri dengan
bekerja di perusahaan garment di Jakarta Utara.
Sepeninggal ibuku kehidupanku semakin tidak terarah, semakin
liar, karena terbentur biaya aku
terpaksa tidak melanjutkan sekolahku. Benar-benar aku bergulat sendiri melawan
kerasnya kota Jakarta.
Pria Idamanku
Aku berkenalan dengan seorang pria sederhana, bernama Agus
anak bungsu dari 3 bersaudara. Dia orang Jawa Tengah halus tutur katanya, dia
juga penyayang. Agus merupakan anak orang kaya, orang tuanya seorang pengusaha
Agrobisnis di Jawa Tengah. Agus sendiri bekerja
di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Aku jatuh cinta dengan Agus, begitu
juga Agus terhadapku.
Aku dan agus berpacaran tidak lama, hanya sekitar 7 bulan. Kemudian aku dan Agus memutuskan untuk
melangsungkan pernikahan. Aku sangat bahagia menikah dengan Agus. Aku tinggal
dirumah milik orang tua Agus di sebuah komplek Ellite di Jakarta Utara. Semua kebutuhanku dipenuhinya, bahkan Agus tak
pernah hitung-hitung dalam hal memberikan uang belanja. Sampai –sampai ATM Agus
pun aku yang pegang.
Karena terlampau percayanya agus denganku aku mulai lupa
diri, aku mulai boros. Setiap hari aku jalan di mall, makan, belanja beli baju
dan lain-lain, yang akhirnya menguras isi ATM yang aku pegang. Karena rasa
takut kalau ketahuan oleh Agus, aku mulai berani main hutang ke rentenir untuk
menutupi isi ATM yang aku pegang.
Agus pun tidak marah karena setahu dia isi ATMnya masih
kumplit. Hal seperti itu berlanjut terus hingga aku hamil anak pertamaku.
Kehidupanku dengan kebiasaan borosku, dan dengan kebiasaan berhutangku pun
terus berlanjut. Hingga anakku Shinta
lahir, dan mulai sekolah TK.
Masalah mulai datang ketika
pada suatu hari ada rentenir datang kerumah untuk menagih hutangku yang
sudah jatuh tempo. Hutangku sebanyak 15 juta rupiah. Kebetulan aku sedang di
rumah kakakku yang paling tua, jadi Agus yang menerimanya. Malam sepulang dari
rumah kakakku, Agus marah sekali. Dia mengusir aku dari rumahnya. Karena
menurutnya aku sudah tidak jujur. Memang sih kalau aku minta ke Agus pasti dibelikan.
Mungkin karena aku berangkat dari orang miskin jadi begitu jadi orang kaya
langsung kemaruk ingin menghabiskan uang.
Pulanglah aku kerumah kakakku, kakakku bilang aku harus
merubah perilakuku, aku harus nurut dengan aturan suamiku. Jujur saja keluargaku
sangat tidak mau kalau aku berpisah dengan Agus. Karena Agus adalah donator
tetap keluargaku, Ayahku dan istrinya, kakak-kakakku serta adikku semua
mendapat suplay keuangan dari Agus tiap bulannya.
Aku pun diantar oleh kakakku kembali kerumah Agus. Kakakku
meminta maaf atas perilaku ku yang tidak jujur. Aku pun meminta maaf sama Agus
dan berjanji tidak mengulang lagi. Mulai saat itu aku selalu dirumah, kerjaanku
ngrumpi di rumah tetanggaku, aku mulai
mengabaikan pekerjaan rumah tanggaku, jadi setiap agus pulang kerja rumah pasti
masih berantakan, shinta belum mandi, dan juga tidak ada masakan dirumah. Agus
marah dan mulai melontarkan kata kasar, hinaan, cercaan terhadapku. Sejak saat
itu uang belanjaku mulai dijatah perminggu sama Agus.
Intinya aku sudah gagal jadi ibu rumah tangga yang baik.
Shinta suka jajan, bahkan sehari kalau aku turuti bisa 50 ribu habis hanya buat
jajan. Sementara kalau dikasih tahu dia nangis tak berhenti seharian. Jatah
perminggu buat belanja pun akhirnya selalu kurang. Kalau aku minta
kekurangannya ke Agus dia selalu marah-marah. Memang sih jatah agus perminggu
buat belanja memang sangat banyak, kalau seandainya aku kelola dengan baik
sisanya masih bisa untuk ditabung.
Karena kekurangan uang belanja tiap minggunya itu akhirnya
tanpa sepengetahuan Agus, aku berani berhutang dengan menggadaikan sertifikat
rumah Agus (yang sekarang aku tempati) aku gadaikan ke tetanggaku dengan nilai
nominal 10 juta ( padahal harga sertifikat itu bisa mencapai hampir 1M). Uang
hasil gadai sertifikat itu aku berikan ke kakakku paling tua sebanyak 6 juta
yang 4 juta buat pegangan aku.
Tak berapa lama kemudian kebohonganku pun terkuak, betapa
marahnya agus terhadapku, kata-kata kasar, dan pukulan pun mendarat di tubuhku,
bahkan dia pun akan memulangkan aku ke orang tuaku. Sedih sekali aku, karena
aku tahu betapa beratnya keluarga kakakku dan keluarga Ayahku tanpa bantuan
keuangan dari Agus.
Akhirnya aku dipulangkan ke orang tuaku secara baik-baik.
Shinta aku bawa (karena dia adalah nyawaku) Cuma selama Shinta ada di tanganku
orang tua Agus tidak mengijinkan, Agus mentransfer uang ke Anaknya. Orang tua
Agus membiarkan aku sendiri yang memenuhi kebutuhan Shinta sendirian….
Kisah ini untuk pembelajaran kita bahwa kejujuran di dalam
rumah tangga sangat penting…
Sumber : Melati (bukan nama sebenarnya)
Dengan penuh penyesalan Melati juga memohon maaf kepada Mas
Agus(bukan nama sebenarnya) karena perbuatannya itu.
0 comments:
Post a Comment